Memastikan Isi Tabung Gas 3 Kg Tidak Bohong

 


IRFANS - Masyarakat Indonesia, hampir tidak ada lagi yang tidak mengenal dan memanfaatkan LPG (liquified Petroleum gas, Bahasa Indonesianya kurang lebih berarti: gas minyak bumi yang dicairkan) dalam kegiatan masak-memasak untuk urusan perut dalam kehidupan sehari-hari. Dari kota-kota sampai ke desa-desa yang penduduknya sebenarnya masih bisa memanfaatkan kayu api sebagai bahan bakar, tetapi nyatanya mereka sudah menggunakan kompor gas karena lebih praktis dan juga bersih.

Tabung gas yang berada di pasaran beratnya adalah kapasitas 12 kg, 5.5 kg, dan 3kg. Sementara tabung LPG 3 kg ini sebenarnya khusus untuk masyarakat yang tidak mampu atau kasarnya masyarakat miskin, meskipun praktik dilapangannya tidaklah selalu begitu. Karena banyak orang yang kategorinya tidak miskin ternyata banyak yang memanfaatkannya karena harganya yang jauh lebih murah. Mudah-mudahan ke depannya ada suatu skema yang bisa memastikan bahwa subsidi ini bisa tepat sasaran. Memang Pemerintah sudah mewacanakan system pembeliannya nanti bisa secara Biometric ataupun menggunakan Bar Code. Tetapi karena pandemic Covid-19 ini, ada kemungkinan penerapannya masih akan ditunda.
Persoalan yang paling mendasar sekarang ini adalah, benarkah isi tabung gas 3 kg itu tepat seperti seharusnya, yaitu nettonya 3 kg atau brutonya 8 kg? Hal ini memang sering menjadi pertanyaan bagi masyarakat, karena ada masyarakat yang intensitas kegiatannya sering berpindah antara beberapa daerah kabupaten, merasa bahwa lama pemakaian gasnya dengan berat yang sama tidaklah sama. Apalagi jika dibandingkan antara pemakaian tabung gas 3 kg dan 12 kg. Seharusnya pemakaian gas 12 kg seyogjanya 4 kali lebih lama dari gas 3 kg, jika melihat volumenya. Tetapi ternyata, jika gas 3 kg biasa digunakan selama satu minggu, seharusnya yang 12 kg harus bisa satu bulan, karena volumenya 4 kali lipat, tetapi ternyata banyak yang melaporkan jika rata-rata pemakaian tabgung gas 12 kg hanya maksimal sampai 3 minggu saja, artinya ada kekurangan satu minggu atau 3 kg.

Masalah kebenaran volume tabung gas ini, sudah sering dikonfirmasi oleh Pertamina, seperti oleh Unit Manager Communication & CSR Pertamina Marketing Operation Region (MOR) I, Rudi Ariffianto, pada Selasa (6/2/2018) dua tahun silam, memberikan penjelasan bahwa tidak ada praktik kecurangan yang dilakukan oleh Pertamina dalam hal ini Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji (SPBBE). Rudi menyebutkan bahwa sebelum didistribusikan ke masyarakat, tabung LPG sudah melalui uji spesifikasi dan uji SNI menggunakan jalur distribusi yang resmi “Apabila memang ditemukan LPG 3 kg yang dijual melalui agen resmi Pertamina memiliki berat yang tidak sesuai, konsumen bisa mengembalikan kepada agen yang bersangkutan," tuturnya. (http://www.bumn.go.id/pertamina/berita/1-Begini-Penjelasan-Pertamina-Soal-Lempengan-Besi-di-LPG-3-Kg).
Menurut Pertamina, tabung gas yang sudah kosong dimasukan dalam alat yang disebut dispenser pengisian. Alat pengisi tabung gas tersebut dilengkapi dengan alat pengukur. Tabung gas baru dicopot dari mesin pengisi tersebut jika angka di timbangan menunjukkan 8 Kg. Dia menyebut, angka itu adalah berat normal untuk tabung gas 3 kg. Jadi alat untuk isinya sudah serba otomatis, kalau tidak 8 Kg tidak copot, jadi tabung 5 Kg isinya 3 Kg. (https://www.merdeka.com/uang/dituding-ada-kecurangan-berapa-berat-normal-tabung-gas-3-kg.html)
Jika kecurangannya tidak di Pertamina (dan ini pasti benar, masak BUMN curang sih) jadi kemungkinan besar kecurangannya adalah di tingkat pangkalan. Karena para pedagang pasti punya jurus-jurus pamungkas agar dia bisa mendapatkan untung yang sebesar-besarnya, salah satunya adalah dengan cara dioplos. Kita coba kalkulasikan saja contoh sederhana berikut ini. Katakanlah seorang pemilik pangkalan mampu mengoplos berat 0,5 kg untuk satu tabung 3 kg, yang dilakukan terhadap 50 tabung dalam satu minggu, yaitu total 200 tabung dalam satu bulan. Jika harga elpijinya Rp. 38.000/ tabung, artinya 0,5 kg itu harganya Rp. 6.333, maka dalam satu bulan dia bisa mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1.260.000. Dalam setahun sebesar Rp. 15.200.000. Lumayan, bukan? Itu kalau hanya 50 tabung dalam seminggu. Bagaimana jika lebih? Yah, tinggal dikalkulasikan saja.
Untuk mengetahui kecurangan ini, sebaiknya konsumen menimbang tabung gasnya begitu sampai di rumah. Jika kurang 8 kg, bisa dikembalikan atau dilaporkan ke pihak berwajib. Selain itu juga, jika ada pangkalan gas melakukan pengoplosan gas, maka bau menyengat dari gas itu akan tersebar ke masyarakat sekitar yang berdekatan dengannya.
Dalam hal ini, pihak berwajib juga sebaiknya pro-aktif, jangan hanya menunggu aduan dari konsumen. Tidak usah harus menunggu delik aduan, tetapi anggap kesalahan pihak yang curang itu adalah sebagai delik biasa, sehingga tanpa ada yang mengadupun itu sudah bisa diproses hukum oleh aparat berwenang.

Next Post Previous Post